Friday, March 27, 2009

Menyikapi Feminisme dan Isu Gender




Tiga-puluh-lima tahun silam, pada 1970, sebuah acara mewah meriah di Royal Albert Hall, London, tiba-tiba berubah menjadi huru-hara. Sang pembawa acara, Bob Hope, disemproti tinta, dilempari bom tepung, tomat dan telur busuk. Hadirin panik, dewan juri melarikan diri keluar, kontestan menangis, sementara gerombolan demonstran mengamuk sambil meneriakkan yel-yel: “We’re not beautiful, we’re not ugly. We are angry !” Protes keras untuk kontes Miss World Beauty itu dilakukan oleh sejumlah aktivis wanita yang tergabung dalam Women Liberation Movement. Bagi mereka, perhelatan itu tak ada bedanya dengan ‘pasar hewan’.

Gerakan feminis di Barat, tak dapat dipungkiri, merupakan respon dan reaksi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat di sana. Penyebab utamanya adalah pandangan ‘sebelah-mata’ terhadap perempuan (misogyny), bermacam-macam anggapan buruk (stereotype) yang dilekatkan kepadanya, serta aneka citra negatif yang mengejawantah dalam tata-nilai masyarakat, kebudayaan, hukum, dan politik.

Sejak zaman dahulu di Barat, bagi tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles, diikuti oleh St. Agustinus dan Thomas Aquinas pada Abad Pertengahan, hingga John Locke, Rousseau dan Nietzsche di awal abad modern, citra dan kedudukan perempuan tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki. Wanita disamakan dengan budak dan anak-anak, dianggap lemah fisik maupun akalnya. Paderi-paderi Gereja menuding perempuan sebagai pembawa sial dan sumber malapetaka, biang-keladi kejatuhan Adam dari sorga.

Akibatnya, peran wanita dibatasi dalam lingkup rumah-tangga saja. Mereka tidak dibenarkan ikut campur dalam ‘urusan laki-laki’. (Lihat: John Mary Ellmann, Thinking About Women (New York, 1968) dan Frances Gies dan Joseph Gies, Women in the Middle Ages (New York, 1978).

Kaum feminis umumnya menganggap Mary Wollstonecraft sebagai nenek-moyang mereka. Lewat bukunya yang terkenal, A Vindication of the Rights of Woman (London, 1792), ia mengecam berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, menuntut persamaan hak bagi perempuan baik dalam pendidikan maupun politik. Perempuan harus dibolehkan bersekolah dan memberikan suaranya dalam pemilihan umum (suffrage).

Wanita tidak boleh lagi menjadi burung di dalam sangkar. Mereka mesti dibebaskan dari kurungan rumah-tangga dan ‘penjara-penjara’ lainnya. Menurutnya, berbagai kelemahan yang terdapat pada wanita lebih disebabkan oleh faktor lingkungan, bukan ‘dari sono-nya’. Laki-laki pun, kalau tidak berpendidikan dan diperlakukan seperti perempuan, akan bersifat dan bernasib sama, lemah dan tertinggal, ujarnya.

Gebrakan Wollstonecraft menggema ke seantero Eropa dan Amerika. Tercatat tokoh-tokoh semisal Clara Zetkin (1857-1933) di Jerman, Hélène Brion (1882-1962) di Perancis (penulis selebaran La voie feministe dengan subjudulnya yang terkenal, “Femme: ose être !” (Hai perempuan, beranilah menjadi diri sendiri!), Anna Kuliscioff (1854-1925) di Italy (pendiri liga wanita dan jurnal La Difesa delle Lavoratrici), Carmen de Burgos alias ‘Colombine’ (1878-1932) di Spanyol, Alexandra Kollontai (1873-1952) di Russia, dan Victoria Claflin Woodhull (1838-1927), wanita Amerika pertama yang mencalonkan diri sebagai Presiden pada 1872.

Selain hak pendidikan dan politik, aktivis perempuan juga menuntut reformasi hukum dan undang-undang negara supaya lebih adil dan tidak merugikan perempuan.

Di lingkungan kerja, mereka mendesak supaya pembayaran gaji, pembagian kerja, penugasan dan segala macam pembedaan atas pertimbangan jenis kelamin (gender-based differentiation) segera dihapuskan. Karyawan tidak boleh dibedakan dengan karyawati. Semuanya harus diberikan peluang, perlakuan dan penghargaan yang sama. Pemerintah diminta mendirikan tempat-tempat penitipan anak.

Agenda emansipasi selanjutnya ialah bagaimana membebaskan wanita dari ‘penjara kesadaran’nya, mengingatkan wanita bahwa mereka tengah berada dalam cengkeraman kaum lelaki, bahwa mereka hidup dalam dunia yang dikuasai laki-laki (male-dominated world).

Hanya dengan cara ini, konon, perempuan dapat membebaskan dirinya dari segala bentuk opresi, eksploitasi dan subordinasi.

Namun pada beberapa dasawarsa terakhir, gerakan feminis di Barat kelihatan mengalami stigmatisasi dan nampak seperti ‘kena batunya’.

Munculnya feminis-feminis radikal yang mengutuk sistem patriarki, mencemooh perkawinan, menghalalkan aborsi, merayakan lesbianisme dan revolusi seks, justru menodai reputasi gerakan itu. Bagi para feminis radikal, menjadi seorang istri sama saja dengan disandra. Tinggal bersama suami dianggap sama dengan living with the enemy..

Reaksi tajam terhadap radikalisasi feminis datang dari banyak kalangan. Mantan calon Presiden Amerika, Pet Robertson, pernah berkomentar bahwa para feminis itu kerjanya cuma ‘mengompori’ wanita agar meninggalkan suami dan membunuh anak mereka, mengamalkan pedukunan, menjadi lesbian dan meruntuhkan kapitalisme (“Feminists encourage women to leave their husbands, kill their children, practise witchcraft, become lesbians and destroy Capitalism”).

Penulis terkenal Susan Jane Gilman pun menangkap kesan serupa. Banyak kaum wanita sekarang ini, keluhnya, menganggap feminisme tidak ketahuan ‘juntrungan’nya dan tidak jelas apa maunya. Sementara kalangan lain menilai wacana feminisme itu elitis, filosofis, ketinggalan zaman, kekanak-kanakkan, dan tidak relevan lagi (“For women today, feminism is often perceived as dreary. As elitist, academic, Victorian, whiny and passé”).

Gerakan feminis juga disalahkan karena dianggap telah mengebiri laki-laki, menyuburkan pergaulan sesama jenis, dan mengubah perempuan menjadi mahluk-mahluk yang gila karir, hidup dalam kesepian, balik ke rumah hanya untuk memberi makan kucing dan anjing.

Diakui atau tidak, emansipasi wanita di Barat memang terbukti merusak sendi-sendi masyarakat dan menghancurkan nilai-nilai keluarga. Negara-negara maju seperti Jerman, Jepang dan Singapura kini tengah berupaya mengatasi apa yang mereka sebut sebagai krisis demografis.

Banyaknya wanita yang mencegah kehamilan dan menggugurkan kandungan dipastikan akan berdampak sangat buruk bagi masa depan negara bersangkutan. Menurut laporan majalah Stern (no. 27, edisi 28 Juni 2005), jika dalam kurun waktu 50 tahun angka kelahiran selalu lebih kecil dari angka kematian seperti sekarang ini, maka pada tahun 2060 Jerman diprediksi akan menjadi tempat penampungan generasi tua jompo, menjadi Land ohne Kinder.

Barangkali karena terlalu radikal dan melampaui batas-batas kewajaran yang umum, gerakan feminis di Barat berangsur-angsur surut dan kini nyaris tinggal wacana. Nampak telah terjadi semacam kejenuhan, keresahan dan rasa bersalah karena melawan naluri dan mengingkari kodrat sendiri.

Akhirnya muncul gerakan anti-tesis yang menyeru kaum wanita agar kembali ke pangkal jalan. Erin Patria Pizzey (penulis buku Prone to Violence), Caitlin Flanagan (kolumnis tetap the Atlantic Monthly), professor Iris Krasnow (penulis buku Surrendering to Motherhood), dan mantan pengacara F. Carolyn Graglia (penulis buku Domestic Tranquility) dapat dikatakan mewakili arus balik ini. Demikian pula Lydia Sherman and Jennie Chancey yang mendirikan yayasan Ladies Against Feminism (LAF).

Menurut hemat mereka, gerakan feminis hanya akan menyengsarakan kaum wanita. Relasi gender tidak harus dipahami sebagai perseteruan dan pertarungan antar kelompok (class struggle) dalam arti saling menegasikan, melainkan dalam perspektif kerja-sama dan hubungan timbal-balik, dalam arti saling menopang dan bahu-membahu membangun keluarga, bangsa dan negara, saling melengkapi, saling mengisi dan saling menghargai satu sama lain.

-Di dunia Islam, wacana emansipasi pertama kali digulirkan oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Tokoh reformis Mesir ini menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi, supaya mereka mengerti hak-hak dan tanggung-jawabnya sebagai seorang Muslimah dalam pembangunan Umat.

Pandangan yang sama dinyatakan juga Hasan at-Turabi dari Sudan. Menurutnya, Islam mengakui hak-hak perempuan di ranah publik, seperti kebebasan mengemukakan pendapat dan memilih, berdagang, menghadiri shalat berjama‘ah, ikut ke medan perang dan lain-lain.

Ulama lain yang berpandangan kurang lebih sama adalah Syekh Mahmud Syaltut, Sayyid Qutb, Syekh Yusuf al-Qaradhawi dan Jamal A. Badawi. Sudah barang tentu para tokoh ini mendasari pendapatnya pada ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits.

Namun ada juga yang menggunakan pendekatan sekular, yaitu Qasim Amin. Intelektual satu ini disebut-sebut sebagai ‘bapak feminis Arab’. Dalam bukunya yang kontroversial, Tahriru l-Mar’ah (Kairo, 1899) dan al-Mar’ah al-Jadidah (Kairo, 1900), ia menyeru emansipasi wanita ala Barat. Untuk itu, kalau perlu, buanglah jauh-jauh doktrin-doktrin agama yang konon menindas dan membelenggu perempuan, seperti perintah berjilbab, poligami, dan lain sebagainya.

Gagasan-gagasan Qasim Amin telah banyak disanggah dan ditolak. Syekh Mahmud Abu Syuqqah dalam karya monumentalnya, Tahriru l-Mar’ah fi ‘Ashri r-Risalah (Kuwait, 1991), membuktikan bahwa tidak seperti yang sering dituduhkan, agama Islam ternyata sangat emansipatoris. Setelah melakukan studi intensif atas literatur Islam klasik, beliau mendapati bahwa ternyata kedatangan Islam telah menyebabkan terjadinya revolusi gender pada abad ke-7 Masehi.

Agama samawi terakhir ini datang memerdekakan perempuan dari dominasi kultur Jahiliyah yang dikenal sangat zalim dan biadab itu. Abu Syuqqah juga menemukan bahwa pasca datangnya Islam kaum wanita mulai diakui hak-haknya sebagai layaknya manusia dan warganegara (bukan sebagai komoditi), terjun dan berperan aktif dalam berbagai sektor, termasuk politik dan militer.

Kesimpulan senada juga dicapai oleh para peniliti Barat (Lihat misalnya: Dorothy van Ess, Fatima and Her Sisters (New York, 1961); Magali Morsy, Les Femmes du Prophete (Paris, 1989); D.A. Spellberg, Politics, Gender, and the Islamic Past: the Legacy of ‘A’isha bint Abi Bakr (New York, 1994).

Dengan kata lain, gerakan emansipasi perempuan dalam sejarah peradaban manusia sebenarnya dipelopori oleh risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Islam datang mengeliminasi adat-istiadat Jahiliyah yang berlaku pada masa itu, seperti mengubur hidup-hidup setiap bayi perempuan dilahirkan, mengawini perempuan sebanyak yang disukai dan menceraikan mereka sesuka hati, sampai pernah ada kepala suku yang mempunyai tujuh puluh hingga sembilan puluh istri. Nah, semua ini dikecam dan dihapuskan untuk selama-lamanya.

Sebagaimana dimaklumi, masyarakat Arab zaman Jahiliyyah mempraktekkan bermacam-macam pola perkawinan. Ada yang disebut nikah ad-dayzan, dimana anak sulung laki-laki dibolehkan menikahi janda (istri) mendiang ayahnya.

Caranya sederhana, cukup dengan melemparkan sehelai kain kepada wanita itu, maka saat itu juga dia sudah mewarisi ibu tirinya itu sebagai isteri. Kadangkala dua orang bapak saling menyerahkan putrinya masing-masing kepada satu sama lain untuk dinikahinya.

Praktek ini mereka namakan nikah as-syighār. Ada juga yang saling bertukar isteri hanya dengan kesepakatan kedua suami tanpa perlu membayar mahar, yaitu nikah al-badal.

Selain itu ada pula yang dinamakan zawaj al istibdhā‘, dimana seorang suami boleh dengan paksa menyuruh isterinya untuk tidur dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah hamil sang isteri dipaksa untuk kembali kepada suaminya semula, semata-mata karena mereka ingin mendapatkan bibit unggul dari orang lain yang dipandang mempunyai keistimewaan tertentu.

Bentuk-bentuk pernikahan semacam ini jelas sangat merugikan dan menindas perempuan. (Lihat: W.R. Smith, Kinship and Marriage in Early Arabia (London, 1907).

Gerakan feminis radikal rupanya berpengaruh juga di kalangan Muslim. Kita mengenal nama-nama Fatima Mernissi dari Marokko (penulis buku Beyond the Veil), Nawal al-Saadawi dari Mesir (penulis buku The Hidden Face of Eve), Riffat Hasan (pendiri yayasan perlindungan perempuan The International Network for the Rights of Female Victims of Violence di Pakistan), Taslima Nasreen dari Bangladesh (penulis buku Amar Meyebela), Amina Wadud dari Amerika Serikat yang sempat membuat heboh beberapa waktu lalu, Zainah Anwar dari Sisters In Islam Malaysia, Siti Musdah Mulia dari Indonesia dan masih banyak lagi.

Sedikitnya ada tiga faktor yang melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme radikal ini. Pertama, imbas dari apa yang telah terjadi di negara-negara Barat. Kedua, kondisi masyarakat di negara-negara Islam saat ini yang masih terbelakang dan memprihatinkan, terutama nasib kaum wanitanya. Ketiga, dangkalnya pemahaman kaum feminis radikal tersebut terhadap sumber-sumber Islam. Semua ini tentu sangat kita sesalkan.

Kalau tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Yusuf al-Qaradhawi menyeru orang untuk kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah dalam soal gender, maka kaum feminis radikal malah mengajak orang untuk mengabaikannya.

Bagi para ulama, ketimpangan dan penindasan yang masih sering terjadi di kalangan Umat Islam lebih disebabkan oleh praktek dan tradisi masyarakat setempat, ketimbang oleh ajaran Islam. Namun bagi feminis radikal, yang salah dan harus dikoreksi itu adalah ajaran Islam itu sendiri, yang dikatakan mencerminkan budaya patriarkis. Di sinilah nampak kedangkalan pemahaman mereka.

Seperti kita ketahui, tidak satu ayat pun dalam al-Qur’an yang menampakkan misogyny atau bias gender. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sejak di surga hingga turun ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (humā ataupun kumā).

Disamping itu, bukan pasangan Adam yang disalahkan, melainkan syetan yang dikatakan menggoda keduanya hingga memakan buah dari pohon keabadian.

Di muka bumi, baik laki-laki maupun perempuan diposisikan setara. Derajat mereka ditentukan bukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh iman dan amal shaleh masing-masing. Sebagai pasangan hidup, laki-laki diibaratkan seperti pakaian bagi perempuan, dan begitu pula sebaliknya.

Namun dalam kehidupan rumah-tangga, masing-masing mempunyai peran tersendiri dan tanggung-jawab berbeda, seperti lazimnya hubungan antar manusia.

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, laki-laki dan perempuan dituntut untuk berperan dan berpartisipasi secara aktif, melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar serta berlomba-lomba dalam kebaikan.

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah…Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” Demikian firman Allah dalam al-Qur’an (al-Ahzab: 35).

Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan, bahwa sesungguhnya perempuan itu saudara laki-laki (an-nisā’ syaqā’iqu r-rijāl) (HR Abu Dāwud dan an-Nasā’i).

Oleh karena itu, meskipun di kalangan Muslim pada kenyataannya masih selalu dijumpai diskriminasi terhadap perempuan, namun yang mesti dikoreksi adalah masyarakatnya, bukan agamanya. Toh, di tanah kelahirannya sendiri, gerakan feminis dan kesetaraan gender masih belum bisa menghapuskan sama sekali berbagai bentuk pelecehan, penindasan dan kekerasan terhadap perempuan.

Berdasarkan hasil sebuah survei, kendati undang-undang persamaan upah (Equal Pay Act 1970) di Inggris sudah berusia 30 tahun lebih, wanita yang bekerja sepenuh waktu di negeri itu digaji 18% lebih rendah dari pekerja laki-laki.

Sementara mereka yang bekerja separuh waktu menerima upah 39% lebih rendah berbanding laki-laki. Begitu juga di Amerika Serikat, pendapatan kaum wanita rata-rata 25% lebih rendah dibanding laki-laki. Penelitian lain menemukan bahwa dalam tiap 10 detik di Inggris terjadi tindak kekerasan terhadap wanita, berupa pemukulan, pemerkosaan, atau bahkan pembunuhan. Ini belum termasuk tindak pelecehan seksual dan sebagainya.

Dr. Lois Lamya al-Faruqi mungkin benar, gerakan feminis di lingkungan Muslim hanya akan berhasil bila tetap mengacu pada ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunnah), bukan sekedar menjajakan gagasan-gagasan asing yang diimpor dari luar, yang belum tentu cocok untuk diterapkan atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Disamping itu, gerakan feminis di kalangan Muslim juga seyogyanya diletakkan dalam bingkai pembangunan umat secara keseluruhan, tidak chauvinistik dan hanya memikirkan kepentingan kaum wanita saja.

Terakhir, pejuang gender juga perlu bersikap lebih bijak dan hati-hati dalam mengutarakan gagasan dan agenda mereka, agar tidak ‘menabrak rambu-rambu’ yang ada dan tidak ‘menuai badai’.

Sebab, seperti kata Imam al-Ghazali, segala sesuatu jika sudah melewati batas, justru memantulkan kebalikannya (kullu syay’in idzā bālagha haddahu in‘kasa ‘alā dhiddihi).

sumber

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.